Oleh: Ilham Ahmad Nazar
Perubahan ruang hidup dan ekonomi warga di balik kehadiran Bandara International Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Kabupaten Majalengka.
Bandara International Jawa Barat (BIJB) Kertajati yang dibangun di Kabupaten Majalengka ini berdiri kokoh diantara hamparan sawah, perkebunan dan pemukiman penduduk. Bandara Kertajati merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mempercepat pembangunan di daerah yang bertujuan untuk memberikan kemudahan akses transportasi udara.
Pada pembangunan BIJB Kertajati terlihat jelas menyusutnya areal persawahan yang otomatis menghilangkan mata pencaharian sebagian besar warga.
Menyusutnya areal pesawahan bukan saja akibat pembangunan kawasan bandara, tapi juga berkembangnya industri. Lahan yang masih cukup luas serta upah buruh yang murah disinyalir sebagai daya tarik para pelaku bisnis beramai-ramai mendatangi Kabupaten Majalengka.
Lahan sawah yang akan hilang karena alih fungsi lahan menjadi bandar udara diperkirakan mencapai 7.500 ha di antaranya untuk run way (landasan pacu) seluas 1.800 ha, Kertajati Aerocity 3.200 ha dan daerah pengembangan 2.500 ha. Lahan yang terkena pembangunan bandar udara meliputi lima desa, yaitu Desa Kertajati, Bantarjati, Sukakerta, Kertasari, dan Sukamulya.
Pemerintah yang menjanjikan pembangunan BIJB Kertajati beserta Kertajati Aerocity akan berdampak positif terhadap kehidupan ekonomi warga sekitar. Namun, setelah diresmikan oleh Presiden Jokowi Widodo pada 24 Mei 2018, bandara itu mati suri. Belakangan pemerintah berupaya membuat kondisi bandara tersebut ramai dengan memindahkan penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara Bandung ke Bandara International Jawa Bara Kertajati.
Bandara yang dibangun diluas lahan 7.500 ha ini menimbulkan banyaknya kerugian yang dialami oleh warga sekitar. Dimulai hilangnya kesempatan kerja pertanian, nilai produksi padi yang menurun, hingga berkurangnya penghasilan rumah tangga petani.
Lahan yang subur banyak digunakan warga untuk sawah dan menanam berbagai palawija itu beralih fungsi menjadi bandara, dengan uang ganti rugi lahan dan rumah yang cukup rendah.
“Dulu saya punya lahan disini, yang digunakan sebagai landasan sekarang. Lahan saya seluas 125 bata dihargai 700 ribu perbatanya oleh pihak bandara, tidak sebanding dengan harga sebelumnya ketika awal membeli seharga 1.100.000 ribu perbata,” tutur Suhardi (55), seorang buruh serabutan yang sedang mencari rumput disekitar areal bandara.
Pertanian yang merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Desa Sukamulya dan sekitarnya sedikit demi sedikit akan berkurang karena dampak dari pembangunan bandara.
”Disini sistem pertaniannya tadah hujan, ketika musim hujan datang kita menanam padi. Saat musim kemarau kita bertani cabai, pare (paria), dan sebagainya dengan cara dipantek (dibor),” ujar Sasmita Ketua RT Sukamulya.
Tanah yang cukup subur bisa ditanami berbagai tanaman menjadi penghasilan utama bagi warga Desa Sukamulya dan sekitarnya. Mereka bisa menanam padi pada saat musim hujan dan menanam berbagai tanaman palawija disaat musim kemarau guna memenuhi kebutuhan ekonomi.
Lahan pertanian yang kian menyusut dikarenakan pembangunan bandara, menyebabkan kondisi ekonomi kurang baik. Warga harus mencari jalan lain untuk memperbaiki keadaan guna tetap bertahan hidup, salah satunya menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW).
”Jika mengandalkan dari hasil bertani saja pasti tidak cukup, banyak dari wanita disini pergi ke luar negeri untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) demi memenuhi kebutuhan ekonomi,” lanjut Sasmita.
Keputusan untuk menjadi Tenaga Kerja TKW didasari oleh kondisi ekonomi, tujuan utama berangkat menjadi TKW yaitu mencari penghasilan yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan, seperti membayar hutang.
Harga lahan yang cukup mahal membuat banyak warga kehilangan tempat tinggal setelah dibangunnya bandara. Mereka (warga) berkeinginan mempunyai rumah sendiri untuk dijadikan tempat tinggal, namun biaya untuk membeli tanah dan membangun rumah itu cukup mahal hingga sebagian warga memilih untuk menempati rumah hunian sementara.
Seorang warga mengatakan hingga sekarang ia tidak mempunyai rumah karena uang yang diberikan sebagai uang ganti rugi lahan tidak mencukupi untuk membangun sebuah rumah dan uang ganti rugi itu pun pembayarannya belum tuntas dibayar semua, sekarang ia hanya bisa mendiami rumah hunian sementara yang ia bangun sedikit demi sedikit dari hasil ia bekerja.
Megahnya Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati tidak sebanding dengan kondisi warga disekitar tempat tersebut. Perihal uang ganti rugi lahan dan rumah yang tidak sesuai serta mata pencaharian yang mulai tergerus karena dampak dari pembangunan bandar udara.
Selain khawatir masalah ekonomi, masyarakat Desa Sukamulya pun mengkhawatirkan akan jarak Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Kertajati yang cukup dekat dengan pemukiman, yang bisa kapan saja bisa terbakar seperti yang terjadi di Kilang Minyak Unit IV Cilacap, Kilang Minyak di Balongan, Indramayu, dan Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara.
Peneliti Minyak dan Gas Bumi (Migas) menyebutkan bahwa batas ideal jarak antara depo atau Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) dengan pemukiman penduduk setidaknya sejauh 1 kilometer (km).
”Sebetulnya kami khawatir perihal jarak antara Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) dengan kami sekarang, setidaknya jarak pemukiman dan DPPU idealnya 1 kilometer,” ujar warga Sukamulya.
Namun demikian, walaupun jarak yang terbilang cukup dekat antara pemukiman, lahan pertanian dan DPPU, masyarakat masih tetap beraktifitas dengan segala kekhawatiran yang menyelimuti pikiran mereka.
Tetap bertahan dengan memanfaatkan ladang yang dimiliki sekarang menjadi prioritas bagi para warga Desa Sukamulya dan sekitarnya dalam menghadapi pembangunan bertahap BIJB Kertajati.
”Yang berkuasa sekarang ini adalah uang,” tutup Sasmita











