Oleh: Shelly Dwi Febianti
Di tengah-tengah kota yang keras terdengar sayup-sayup suara tawa anak kecil memenuhi sudut gang. Sejumlah anak yang bermukim di Kampung Ciguruwik, Desa Cinunuk berlarian kesana kemari untuk bermain. Menjadi pemandangan yang umum melihat anak-anak di wilayah ini bermain dengan barongan yang berukuran kecil. Disaat kebanyakan anak mungkin merasa takut akan bentuk barongan yang memiliki wajah berwarna merah dan bermata besar.
Ketika saya memasuki komunitas Seni Reak Juarta Putra banyak sekali tawa dari anak-anak dan senyum hangat dari warga sekitar, mereka dengan senang hati memperkenalkan kesenian reak kepada orang baru. Membuat hati saya terasa penuh dengan sikap ramah mereka.
Kelompok Seni Reak Juarta Putra sendiri berawal dari keresahan Abah Juarta yang ingin mewadahi individu yang senang berkesenian, berdiri sejak tahun 1982 dan kini dipimpin oleh seorang pemuda bernama Anggi Nugraha (24).
Reak sendiri merupakan kesenian yang hidup di antara masyarakat agraris, khususnya masyarakat petani yang mayoritas menanam padi. Awalnya seni ini merupakan pengiring upacara yang disebut ‘helaran reumpak jarami, ampih pare’, upacara yang dilakukan ketika para petani memindahkan padi dari sawah ke tempat penyimpanan padi yang disebut leuit.
Waktu demi waktu seni reak sudah tidak digunakan seperti fungsi awalnya sebagai iringan upacara setelah selesai panen. Hilangnya tujuan awal reak ini disebabkan berkurangnya lahan sawah.
“Terus lahan sawah juga sekarang berkurang gitukan, karena dibuat komplek dan kavling.
Terus memang itulah salah satu ciri hilangnya budaya, harusnya memang bisa dikembalikan lagi si reak ini sebagaimana fungsinya pertama kali” Ucap Anggi selaku ketua dari komunitas Juarta Putra.
“Dan karena sekarang mah lahan sawahnya udah banyak yang garap, banyak pemborong sawah lah, jadi tidak sesolidaritas dan seloyalitas dulu.” Tambah Anggi
Kondisi generasi muda saat ini identik dengan mengedepankan budaya modern yang berasal dari barat, dan mulai melupakan budaya yang berakar dari leluhurnya. Mereka menganggap bahwa budaya modern lebih menarik dan sebaliknya budaya tradisional dianggap membosankan. Mayoritas anak-anak cenderung lebih tertarik bermain gadget dibanding bermain di luar rumah.
Keterlibatan generasi muda dalam seni reak pastinya tidak lepas dari faktor lingkungan. Sebagian orang tua dari anak-anak tersebut dahulunya memang bergelut di kesenian reak. Maka dari sanalah mereka memiliki ketertarikan terhadap reak dengan sendirinya. Seperti yang terjadi kepada anak yang bernama Rizki Zaelani Furqan berusia 12 tahun, dia hanya seorang anak lelaki yang polos, yang kemudian dihatinya tumbuh rasa cinta dan bangga terhadap seni reak akibat melihat sang ayah sebagai anggota dari komunitas Juarta Putra.
“Anak-anak disini suka reak ya karena liat orang tua mereka juga berkesenian, jadi saling ajak temen-temen mereka buat masuk Juarta Putra” ucap Anggi.
Sayangnya tidak semua masyarakat daerah Ciguruwik senang terhadap seni reak, ada masanya ketika kesenian ini dipandang negatif. Stigma bahwa seni reak dianggap kegiatan yang tidak baik dan para pelakunya sering dinilai arogan. Menurut pemaparan Anggi, memang sebelumnya anggota Juarta Putra didominasi oleh orang dewasa yang bekerja dijalan, seperti profesi ojek, juru parkir dan lain-lain. Namun bukan berarti mereka memiliki sikap yang arogan, mereka hanya kumpulan manusia yang memiliki ketertarikan yang sama terhadap kesenian reak.
“Bahwasannya pelestarian seni itu tidak bergantung kepada siapa anda, sekalipun kalian turunan seorang raja, kalau tidak membuat suatu kemaslahatan dan manfaat kepada orang lain terus buat apa” ucap Anggi.
Pandangan negatif tadi membuat sulitnya menyebarluaskan kesenian reak ke wilayah luar Ciguruwik. Salah satu kegiatan reak yang dianggap musrik oleh sebagian orang yaitu ngukus ‘menyediakan sesajen’ dilakukan setiap hari Kamis sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur. Fungsi asap yang dihasilkan oleh kemenyan untuk mencegah alat musik dihinggapi oleh serangga dan membuat barongan menjadi harum.
Dengan alat musik yang cukup banyak dan tarian barongan yang lincah maka diperlukan tempat yang memadai. Sedangkan kesenian reak Juarta Putra berdiri di kawasan yang minim lapangan luas sehingga menyulitkan mereka untuk bermain.
“Iya kalo untuk ruang bermain anak-anak, memang kita sangat sempit, bahkan sekarang bisa dikatakan kita tidak punya lahan bermain atau ruang publik disetiap kampung.” Ungkap Anggi
Kurangnya ruang terbuka menyebabkan sulitnya proses penyebaran kesenian reak ini. Adapun ruang terbuka hijau yang minimal ditetapkan 30% dari suatu wilayah, namun untuk kabupaten Bandung sendiri belum mencukupi, bahkan semakin berkurang karena adanya berbagai pembangunan.
Tetapi semua tadi tidak membuat mereka berhenti berkesenian. Reak akan terus bertahan dan tetap hidup, karena masih ada orang-orang yang peduli dan tidak akan membiarkan kesenian reak redup. Juarta Putra justru menunjukan bahwa seni bukan sekedar sebagai tontonan, melainkan seni juga merupakan media penyampaian nilai-nilai tuntunan. Karena di dalam sebuah karya seni tersirat makna yang dapat dipedomani untuk kehidupan sehari-hari. Upaya generasi muda dalam menggeluti seni tradisi merupakan salah satu implementasi pemajuan kebudayaan, yakni untuk mencegah hilang atau musnahnya kebudayaan khususnya pada seni reak.






