Oleh: Rasyad Yahdiyan
Wangi khas tembakau dan rapinya susunan nampan tembakau menjadi pemandangan yang lazim ditemui saat menyambangi Desa Banyuresmi, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang. Berada di daerah pegunungan dan perbukitan dengan kondisi iklim kemarau serta penghujan, menggerakan masyarakat setempat giat dalam sektor pertanian, khususnya tembakau.
Petani tembakau memulai aktivitasnya saat hari masih gelap. Gulungan daun tembakau yang sudah dikumpulkan mulai dirajang dengan alat rajangan tradisional. Proses perajangan dilakukan sejak dini hari hingga menjelang matahari terbit. Para petani terlihat telaten dalam merajang daun tembakau, ketelitian perlu diperhatikan sebab ukuran pengirisan akan berpengaruh pada proses penjemuran. Sambil dirajang, irisan daun tembakau mulai dilipat dan diletakan diatas nampan bambu, yang
kemudian disusun rapi bertumpuk.
Embunpun mulai naik berganti dengan hangat sinar matahari, menjadi waktu yang tepat bagi para petani untuk mulai menjemur tembakau rajangannya. Bagi para petani tembakau, setiap waktu yang ada menjadi suatu hal yang sangat berharga sehingga harus dimanfaatkan demi meraut lebih banyak keuntungan.
Berada di Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, Desa Banyuresmi menjadi salah satu kawasan penghasil tembakau terbesar kedua di Jawa Barat setelah Kota Garut. Iklim dan kontur tanah yang mendukung, juga hasil warisan turun temurun, menjadikan tembakau sebagai salah satu mata pencaharian pokok setiap rumah di desa ini. Setidaknya 98% masyarakat di desa ini bergerak dalam sektor pertaninan tembakau. Desa Banyuresmi diperkirakan mampu menghasilkan hingga 3 ton tembakau setiap bulannya dengan kisaran harga termurah yakni Rp 50 ribu hingga yang termahal mencapai Rp 300 ribu per lempeng atau nampan.
Maraknya produksi tembakau di desa ini, menghasilkan ide-ide yang lebih menarik untuk meningkatkan potensi penjualan tembakau. Salah satu yang pernah di hidupkan di Desa Banyuresmi ini adalah di benutuknya Kelompok Tani Tembakau. Sempat mengoptimalkan penjualan secara online hingga menggapai pasar mancanegara seperti Arab Saudi menjadi salah satu bentuk nyata kualitas tembakau
Banyuresmi. Namun sejak dilanda pandemi Covid-19 penjualan mulai menurun secara berangsur-angsur. Cuaca juga menjadi faktor penting bagi keberlangsungan petani tembakau.
Tembakau mole atau yang biasa masyarakat sebut “Bako Mole”, merupakan jenis tembakau ciri khas Provinsi Jawa Barat. Tembakau jenis ini memiliki ciri potongannya yang tipis dan panjang hasil rajangan menggunakan pisau golok tradisional. Penghasil tembakau mole tersebar di beberapa daerah Kabupaten Sumedang, yakni Desa Pasigaran, Kadakajaya, Cijambu, Sukasari, Banyuresmi, Genteng dan Nanggerang.
Proses pengolahan tembakau mole di awali dengan memilih daun berdasarkan kualitasnya yang kemudian dicabut batang daunnya. Daun yang sudah bersih dari batangnya kemudian ditumpuk dan digulung, yang kemudian dirajang (iris) menggunakan alat rajang tradisional. Setelah proses perajangan, irisan daun tembakau di susun diatas nampan untuk masuk dalam tahap penjemuran.
Bagi sebagian besar masyarakat Desa Banyuremi, tembakau menjadi sebuah warisan turun temurun sejak tahun 1950 yang kini telah memasuki generasi ke-4nya. Di dekatkan dengan aktivitas bertani tembakau sejak dini, menjadikan regenerasi petani tembakau terus berlangsung hingga saat ini. Namun kini generasi ke-4 yang merupakan golongan anak muda tidak sedikit yang memilih bekerja diluar sektor pertanian.
“Kapungkurmah mikul daun bako 50 kilo, 4 jam perjalanan ti kebon ka bumi, ayeuna
mah tos modern kana motor” kata Iis. Seiring berkembangnya zaman, budaya petani memikul daun tembakau dengan berjalan kaki sudah mulai ditinggalkan karena hadirannya moda transportasi roda dua di lingkungan masyarakat. Kehadiran sarana transportasi yang lebih modern ini sejatinya memudahkan para petani dalam bermobilitas. Disisi lain, generasi muda mengalihkan ketertarikannya di bidang pertanian ke bidang otomotif.
Seiring dengan berkembangnya zaman menuju gaya hidup yang lebih modern, mengakibatkan berkurangnya minat anak muda terhadap sektor pertanian. Pertanian dipandang sebagai hal yang kotor dan tidak “keren”, generasi muda disana lebih memilih mengembangkan minatnya di bidang otomotif maupun mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan selain dari pertanian.
Wawan (54) dan istrinya Iis (44), salah satu petani tembakau yang telah giat menekuni pertanian di sektor tembakau sejak kecil sampai dengan saat ini, hingga menjadikannya sebagai salah satu sumber mata pencaharian. Dikaruniai dua orang anak, kondisi ekonomi yang tidak pasti dari hasil penjualan tembakau, tidak menjadi alasan bagi Wawan dan istrinya untuk mengenyampingkan hak pendidikan bagi kedua anaknya. Fajar (19) anak pertamanya, menyelesaikan pendidikan terakhirnya di jenjang Sekolah Menengah Pertama, sedangkan Syahrini (8) putri bungsunya kini sedang menempuh pedidikan dibangku Sekolah Dasar.
Maraknya petani tembakau di Desa Banyuresmi menjadi sebab desa ini dijuluki dengan “Kampung Bako”. Proses panjang yang dihadapi para petani, rintangan siklus musim yang menghampiri, hingga dikenal sebagai salah satu produsen tembakau terbesar kedua di Provinsi Jawa Barat, menggambarkan betapa bersejarahnya tembakau di desa ini hingga populer dan diminati masyarakat luas. Tembakau menjadi salah satu sumber kehidupan di desa ini, eksistensi di masyarakat dan pasar yang cukup besar menjadi alasan mayoritas masyarakat giat dalam pertanian tembakau. Meski dengan ancaman siklus cuaca yang terkadang tidak menentu, para petani tembakau ini berharap agar harga tembakau tetap stabil sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.





