Lilin : Penerang, Harapan dan Doa

Jelang tahun baru Imlek, lilin raksasa mulai ramai dipesan para jemaat untuk kebutuhan sembahyang. Para produsen mulai disibukkan memproduksi lilin bahkan 3 bulan sebelum hari perayaan, salah satunya ada di Vihara Dharma Ramsi, Jalan Cibadak, Kota Bandung, Jawa Barat.

Pembuatan lilin ini sudah berlangsung sejak vihara ini berdiri. “Produksi lilin sudah mulai pada 1954, saat vihara ini berdiri,” ujar jemaat sekaligus pengelola vihara, Darmawan Asikin. Hingga kini, produksi masih konsisten melayani kebutuhan sembahyang terutama pada acara tahunan Imlek.

Proses pembuatan dimulai dari pemanasan parafin atau bongkahan lilin sisa hingga cair serta dicampur zat pewarna, setelah itu cairan dimasukkan ke dalam tabung cetakan yang sudah diberi sumbu pada bagian tengah. Pada tahapan pengeringan membutuhkan waktu 3 hari hingga kering. Kemudian lilin dirapikan menggunakan pisau lalu disiram air lilin kembali agar warnanya terlihat lebih pekat dan langkah terakhir yaitu membungkusnya dengan plastik sebelum lilin dijajarkan.

Pada tubuh lilin terdapat tulisan syair-syair tentang kehidupan, setiap lilin yang dipesan oleh jemaat telah dinamai sesuai dengan pemilikinya, tingginya berkisar antara 1 hingga 1,75 meter berdiameter 15 hingga 20 sentimeter dengan bobot puluhan kilogram.

Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, lilin merupakan salah satu simbol penerang dalam kehidupan dan selalu ada pada setiap kegiatan keagamaan, terutama di Vihara. Warna merah juga diyakini melambangkan kebahagiaan serta keberuntungan.

Lilin-lilin tersebut dinyalakan tepat pada jam pergantian tahun, lalu dibiarkan menyala dua pekan atau hingga perayaan Cap Gomeh tiba. Setiap lilin ini diyakini pula sebagai bentuk harapan dan doa atas segala cita-cita yang hendak dicapai. PHOTO’S SPEAK / Rico Bagus

Latest posts by Rico Bagus (see all)
     

    947