Sindy enggan keluar, rasa takut untuk bertemu orang - orang menguasai dirinya.

Redup Yang Kembali Terang

oleh Redaktur Photos Speak

Sindy merindukan keluarganya yang hangat. Dia rindu akan perhatian ayah dan ibunya yang sudah lama tak ia dapatkan

Ayah telah pergi selamanya, membuat ruang keluarganya yang dulu hangat dan ramai akan perbincangan kini menjadi sepi dan kosong. Semuanya hancur berantakan setelah ayah pergi

Sindy enggan keluar, rasa takut untuk bertemu orang - orang menguasai dirinya

Sindy sadar, dia harus tetap bertahan hidup bersama ibunya. Sindy bekerja di sebuah rumah mode sederhana untuk mendapatkan pundi rupiah

Kucing kesayangannya menjadi semangatnya untuk bertahan. Kucing menjadi temannya untuk bercerita dan berkeluh kesah setelah bekerja dan berkegiatan di luar

Kini Sindy berusaha sembuh bersama orang - orang tersayangnya yang mengerti dirinya. Ibunya, sahabatnya hingga kekasihnya mau menemaninya untuk kembali membuatnya terang setelah redup melandanya

Redup Yang Kembali Terang

oleh Redaktur Photos Speak

Bukankah hidup manusia hanya tentang memilih? Tapi kenapa ada manusia seperti Sindy. Memilih
mengengam kecamasan, lalu disimpan dalam-dalam di ulu hatinya.

Barangkali karena duka membuatnya demam. Atau mungkin sepi yang membunuh imajinasi gadis 19
tahun itu selepas tak lagi tumbuh dalam keluarga yang utuh.

“Ayah pergi tujuh tahun lalu,” katanya lirih.

Sejak itu muram perlahan datang. Sindy depresi. Kata dokter, dia mengalami gangguan kejiwaan,
Anxiety Disorder. Sejenis penyakit yang menyerang dengan rasa khawatir yang berlebihan bagi
penderitanya.

Anxiety Disorder adalah kondisi dimana seseorang memiliki kecemasan yang tidak kunjung hilang
dan dapat memburuk seiring berjalannya waktu. Kondisi tersebut bahkan bisa menganggu aktivitas
sehari-hari seperti pekerjaan, sekolah, hingga hubungan dengan orang lain.

Sindy selalu termenung. Dan dinginnya pojokan kamar dijadikan semacam tempat meditasi. Tak ada
rasa yang paling menyakitkan ketika ditusuk kenangan usang.

“Ini masih tentang ayah,” katanya lagi dengan raut muka yang datar.
“Lahir sebagai anak bungsu tidaklah enak,” Sindy menggerutu.
“waktu terasa lama. Karena aku selalu di nomor sekiankan.”
“Aku selalu disuruh ngalah sama mamah, apa-apa kakak dulu,” Sindy menghardik.

Dia ingin menjadi pendekar sakti, seorang insinyur atau pengusaha kaya raya paling tidak.
Setidaknya tidak pusing karena kurang ongkos. Karena dia ingin pergi ke suatu tempat dimana hanya
ada dirinya sendiri. Bercerita hingga kantuk tiba. Tak ada orang yang mampu menghibur Sindy
sebegitu sempurna, memuaskan rasa humornya, menghilangkan penat yang menancap lama di
kepala. Lama sekali.

Diam memapah Sindy ke ujung pertahanan. Sekalipun akhirnya terdesak oleh hampa juga. Kondisi keluarganya yang tidak sehat menyebabkan gangguan mental makin memuncak. Saat itu, Sindy fikir, tidak akan menemukan secercah harapan. Semangat Sindy redup redam. Dunia begitu kelabu.

Empat tahun, Sindy bercerita melawan dengan menjalani pengobatan secara rutin. “Semua karena bapak, aku berobat. Bapak yang minta.” Tapi Sindy tak menyelesaikan itu. Pengobatan yang dia lakukan terhenti begitu saja. Celakanya, itu tidak dianggap masalah baginya. “Saya kembali dan tak
ingin bicara dengan orang lain selama enam bulan.”

Sindy gadis lugu, kaku dan tidak seru. Tidak suka parti, tidak percaya alien, tidak peduli ada konspirasi jalan berlubang di Lampung. Tapi Sindy tetap akan menyukai diam selagi kambuh. Itu saja.

Waktu demi waktu, Sindy kian menerima kondisinya meskipun belum sepenuhnya pulih. Tuntutan
hidup yang mengharuskannya untuk mencari nafkah membuatnya memberanikan diri untuk
melamar pekerjaan pada sebuah toko pakaian yang tak jauh dari rumah.

“Aku harus kerja. Bapak sudah tiada, jadi kalau cuma diem, mau dapat uang darimana?” tanya Sindy.

Dia memang keras kepala. Entah darimana sifat itu turun. Barangkali dari ibu? Sindy membenci
perempuan yang melahirkannya itu. Tapi dia samar-samar menyebutkan itu. Mungkin karena dia pun tahu atau setengah percaya bahwa takan ada orang tua yang menyianyiakan hidup anak-
anaknya. Kecuali sanggup menanggung kutukan sebagai orang yang paling kesepian di dunia

Sindy berkeyakinan ibunya akan mendukung apapun yang menjadi pilihannya. Dan itu benar adanya.
Semakin hari, ibunya memperlakukan Sindy dengan amat baik. Ibu kembali menjadi “rumah” yang
nyaman setelah lama terasing. Barangkali ada kalanya kesendirian menjadi hadiah yang terbaik.
Keheningngan mengapungkan kenangan, mengembalikan cinta yang hilang, menerbangkan amarah,
mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan.

Obat Sindy kini adalah ibunya. Obat paling mujarab menghapus luka yang membekas. Dan kucing-
kucing miliknya, adalah tenaganya. “Saya punya kucing kesayangan.”

Bagaimana bisa Sindy menjumpai kebahagiaanya pada binatang yang bersuara meong itu. Ataukah
dia mafhum cara pandang kucing terhadap manusia? Mungkin keduanya belajar bersahabat. Yang
jelas percakapan dalam bahasa berbeda menjadi tak penting ketika keduanya sudah saling
memahami.

Akhirnya kelabu memudar. Banyak hal yang Sindy lakukan untuk menenangkan diri kala penyakit
sialan itu kambuh. Sindy memilih meditasi selanjutnya adalah merias diri. Sindy mencintai dirinya
saat dia berpenampilan menarik. Maka ketika bersolek, “Aku ngerasa percaya diri banget kalau aku
make up atau dress up. Lebih ke self-love (mencinitai diri sendiri) gitu. Kita cantik untuk kita sendiri.”

Self-love menjadi aspek penting dari kesehatan mental. Saat self-love diterapkan, diri akan merasa
lebih mudah untuk berfikir positif, termasuk saat marah, kecewa, atau sedih, karena hal tersebut
adalah bentuk dari penerimaan diri.

Meskipun Sindy belum sepunuhnya menjadi penyintas Anxiety Disorder, dia bersyukur karena masih
bisa menemukan jalan keluar. Dan rumusnya masih tentang memilih pilihan. Kali ini, Sindy memilih
tidak lagi lara.